Setiap Keburukan Punya Pasangannya
Dalam hidup, ada satu pola yang sering terlihat: keburukan selalu datang berpasangan. Jika seseorang tidak memiliki batasan diri, hampir pasti ada sifat lain yang menyertainya—seperti nggak enakan. Ini bukan kebetulan, tapi konsekuensi alami dari cara mereka menjalani hidup.
Sebelumnya, saya pernah menulis panjang lebar tentang batasan diri dan betapa pentingnya memahami serta menerapkannya. Dari situ, saya sadar bahwa orang-orang yang nggak punya batasan diri sering kali juga orang yang sulit mengatakan “tidak,” selalu mendahulukan orang lain, bahkan sampai mengorbankan diri sendiri. Mereka terus berusaha menyenangkan semua orang, meskipun itu berarti mengabaikan kebutuhan atau perasaan mereka sendiri.
Saya pernah mengenal seseorang seperti ini. Dia tipe yang nggak enakan, selalu ingin membantu, selalu mendahulukan orang lain, bahkan dalam situasi yang seharusnya bisa ia tolak. Awalnya, mungkin terlihat sebagai kebaikan hati, tapi lama-lama saya menyadari bahwa ini bukan sekadar sikap baik—ini adalah ketidakmampuan untuk menetapkan batasan diri. Dan seperti yang saya sebutkan tadi, kurangnya batasan diri hampir selalu beriringan dengan sifat-sifat lain yang merugikan dirinya sendiri.
Namun, ada satu pelajaran penting yang saya dapat: selama hal ini tidak berhubungan langsung dengan hidup saya, saya memilih untuk membiarkannya. Tidak semua hal harus kita perbaiki, tidak semua orang harus kita bantu menyadari kesalahannya.
Dalam hidup, kita akhirnya belajar bahwa tidak perlu merasa iba, tidak perlu selalu masuk ke dalam kehidupan orang lain. Terkadang, yang terbaik adalah tetap berada di garis batas kita sendiri dan membiarkan orang lain menjalani proses mereka.
Karena pada akhirnya, setiap keburukan memiliki pasangannya—dan begitu juga dengan setiap pelajaran yang datang darinya.